Pages

20160319

Untuk Semua Harapan Dimasa Depan | Binar Senja dan Rinai Rindu

Teruntuk maha, Binar Senja, Rinai Rindu dan semua harapan dimasa depan. Sepenuhnya lagi; mas Farid Stevy Asta. Dimasa engkau terlahir, hal-hal ini terjadi...

Kau lahir kira-kira di masa di mana di sana hal-hal yang akan aku tuliskan terjadi. Tidak berarti apa-apa, hanya saja aku yakin, saat kau besar nanti, kau akan hidup di dunia yang sudah pasti berbeda dengan apa yang aku hidupi saat ini, dunia yang sejatinya gelap walau matahariku dan mataharimu adalah matahari yang sama terangnya, dunia yang terasa tidak lagi romantis walau bulanku dan bulanmu adalah bulan yang sama syahdunya, dan dunia yang sebegitu anehnya, walau alam semestaku dan alam semestamu adalah alam semesta yang sama. Hal demi hal ini ku alami, ku hidupi, ku menjadi bagiannya, tapi sesekali aku tertawai.

Di masa kau terlahir, orang-orang seakan berlari terburu-buru ke arah yang sama, tapi bertabrak-tabrakan, saling menginjak dan tidak menghiraukan. Arah yang di lambang mata angin tidak tertera. Arah yang di warisan-warisan kebajikan tidak tertera. Arah yang ternyata tidak ada yang tau itu dimana. Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha chaos.

Di masa kau terlahir, orang-orang mempercayai Tuhan pencipta alam semesta sebagai mitos. Yang membuat orang-orang menghentikan mesin-mesinnya, turun dari pelananya, tertegun, tersenyum dan bahkan menangis saat ceritannya di dongengkan. Lalu saat dongengnya usai, mereka mulai lapar, lalu mereka menyalakan mesin-mesin itu lagi meloncat lagi ke pelananya, lalu berputar gila dan menggerus rakus lagi. Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha tak tau malu.

Di masa kau terlahir, orang-orang tidak bertegur sapa seperti manusia. Setiap orang mempunyai wakil berupa angka atau kode yang dengannya setiap orang bisa menjadi siapa saja yang bukan dirinya, dan bertemu dengan siapa saja yang sebenarnya tidak ada. Wakil bertemu wakil, kode bertemu kode. Daging bertemu daging tidak lagi penting, hati bertemu hati tidak lagi sejati. Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha palsu.

Di masa kau terlahir, orang-orang berlomba menuju masa depan yang cerah. Perlombaan ini sampai pada puncak prosesinya. Setiap orang seakan berhak menggengam dunia yang sangat luas tak berbatas ini dengan telapak tangan dan ujung-ujung jarinya. Sebegitu hebatnya sampai membuat orang-orang kegirangan dan heran, lupa berkedip, lupa menoleh, lalu tidak sadar bahwa mereka hanya melihat satu titik kecil dan melupakan sisa luasnya semesta. Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha sempit.

Di masa kau terlahir, orang-orang hidup di bawah matahari yang bersinar sempurna, sesempurna mataharimu sekarang, menerangi setiap jimpit ruang yang kita jejaki. Tapi tetap saja orang-orang menyampar dan menendang apa-apa yang mereka temui. Sepertinya sengaja sekali orang-orang ini memejamkan mata dan tidak mau terkaruniai dengan melihat lalu menghargai. Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha gelap.

Di masa kau terlahir, orang-orang dengan hidup sempurna tercontoh rapi di kotak dengan ukuran diagonal dalam inci, bercahaya dan bersuara. Menangkap dan menyiarkan pesan-pesan yang beragam rupa dan cara, yang pada akhirnya tersimpulkan: beli, beli, beli dan beli. Jika tidak mampu mengikutinya, maka terlemparlah kita di intipnya kasta, yang berarti hina. Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha beli.

Di masa kau terlahir, orang-orang bersepakat bahwa ajaran terpopuler adalah membenci. Ajaran ternorak adalah mencintai. Batu, parang dan peluru adalah jajanan laris manis. Cium dan peluk adalah jualan yang tidak pernah laku lagi. Semakin kau membenci, semakin kau diakui. Semakin kau mencintai, semakin kau dijauhi. Di masa kau terlahir, adalah masa maha benci.

Di masa kau terlahir, orang-orang tersediakan jalan dan jembatan dibangun panjang bercabang-cabang, halus dan kokoh. Siap menghantarkan setiap orang kemana saja. Tapi ada satu jalan yang sangat diminati, berjubellah orang-orang disitu. Adalah jalan pintas. Karena setapak demi setapak adalah buang waktu bukan lagi proses, karena belokan dan tanjakan adalah kebingungan yang memutusasakan bukan lagi tantangan, bagi orang-orang yang tidak mampu berfikir panjang. Maka di masa kau terlahir, adalah masa maha pendek.

Di masa kau terlahir, orang-orang berparas murung, tapi berucap ‘aku gembira’. Di masa kau terlahir, menjadi bahagia sebegitu rumitnya. Di masa kau terlahir, aku tertawa-tawa atas apa yang aku lihat. Aku berjalan berlawanan arah, menantang arah orang-orang ini. Di persimpangan besar nan ramai yang selalu aku temui setiap beberapa meter langkah kaki ini, aku bersenggolan dengan orang-orang ini, kadang berjabat tangan, bahkan berpelukan dengan meraka. Sesekali melihat orang lain yang adalah ternyata adalah aku sendiri, berada di kerumunan itu.

Jangan lepaskan gandeng tangan bapak dan ibu, pilihlah jalanan yang sepi seperti apa yang bapak dan ibu juga pernah pilihkan untuk beliau berdua sendiri. Sepi membuatmu punya ruang dan waktu yang lebih untuk dirimu sendiri lalu menjadi. Menjadi tidak seperti orang-orang di kerumunan tadi. Tidak juga sepertiku.


*tertanda : kedai buku Jenny (Makasar), bapak dan ibu maha, buku 'maha tanpa huruf kapital' dan alunan lagu 'hal hal ini terjadi'nya FSTVLST, mas nganu; Farid Stevy Asta. matur nuwun, suksma, nuhun.

20160310

Kesempatan | Antara Waktu dan Optimisme

Saat kecil dulu, untuk memahami proses menanam padi pun saya butuh banyak waktu. Haha, terlalu jauh kalau mengartikannya sebagai memahami, untuk mengerti saja saya tidak secepat mengedipkan mata. Waktu demi waktu berlalu, ya saya tumbuh sampai seperti sekarang. Proses pemahaman terhadap sesuatu hal memang tidak instant begitu saja. Perlu cukup waktu dan kesempatan. Begitu riskannya kesempatan didalam hidup ini. Beberapa hal yang mungkin tidak akan kejadian jikalau Tuhan tidak memberikan kesempatan. Memang kesempatan adalah hal yang sangat saya percayai, setelah adanya Tuhan tentunya. Bagian-bagian kecil dikehidupan memang tak bisa lepas dari kesempatan.

Tak ayal memang ketika kita harus mengejar segala bentuk kebaruan tetapi kita lupa seberapa besar pula kesempatan yang kita miliki. Jangankan untuk memiliki, memperoleh pun terkadang kita terbentur ini dan itunya. Kesempatan mungkin saja memang diberikan Tuhan secara lancar kepada teman kita tanpa mereka minta, namun tak serupa adanya pada kita. Disitulah polemik ketidaksadaran diri untuk menciptakan kesempatan-kesempatan itu berpihak pada hidup kita. Persimpangan yang sangat memelikkan lagi membingungkan langkah kita selanjutnya.

Berjalan ditebing yang licin, terjal dan beresiko tinggi. Tetapi dengan rasa percaya diri kita mampu menakhlukkannya tanpa sedikitpun tubuh kita yang cidera. Itu kesempatan.

Bangun pagi, setelah lelah bekerja semalam suntuk. Deadline tugas-tugas mengikat kuat. Tetapi ketika matahari menyapa diufuk timur, kita masih mampu membuka mata dan menikmatinya tanpa ada rasa malas untuk beraktivitas. Kesempatan.

Interview new job, pakaian serba rapi tanpa kurang suatu apapun. CV terbaik, latar belakang pendidikan yang membanggakan namun pada akhirnya tidak sesuai bayangan kita hasilnya. Kita belum bisa bergabung pada perusahaan tersebut. Kesempatan juga.

Menantikan fenomena gerhana matahari total. Ya tepatnya terjadi kemarin 9 Maret 2016. Maha Kuasa Tuhan memang selalu memberikan yang terbaik pada ciptaannya. Subhanallah, sangat indah sangat mempesona dan sangat menggetarkan hati kita. Meskipun hanya sebagian tempat yang terlintasinya, kota (Yogyakarta) tempat tinggal saya pun tak diberi kesempatan untuk menyaksikannya. Melalu live stream salah satu website, saya pun tak melewatkannya. Awesome, sangat sangat sempurna adanya. Fenomena alam yang mungkin hanya sekali seumur hidup saya, ataupun harus menunggu berpuluh tahun lagi. Itulah kesempatan

Masih banyak hal yang terjadi tak lepas dari kesempatan yang Tuhan berikan pada hidup kita. Tiba-tiba datang ataupun yang kita nanti-nantikan sebelumnya. Bagaimana kita merespon hal-hal demikian dengan percaya diri. Kesempatan yang mampu kita ciptakan sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain itulah yang harus kita optimalkan. Memang tak bisa dipungkiri, peran orang lain sangat berarti bagi hidup kita. Mungkin suatu ketika kita mempunyai sebuah ide atau keperluan yang membutuhkan skill yang baik dalam menyelesaikannya. Semisal kita ingin membuat desain untuk kaos tim futsal atau mengatur ulang ruang kerja. Terkesan tak bermasalah apapun ketika kita memiliki banyak teman baik hati yang memang ahli dibidang tersebut. Ya kadang harganya 3M untuk designer. "Makasih, maaf merepotkan", haha pengalaman. Tetapi untuk kasus lain teman atau kenalan kita sedang sibuk atau tidak bisa membantu dengan alasan yang bermacam. Apa kita memang sampai hati, ketika kita sudah jarang bertemu, jarang kontak dimedsos, dan tiba-tiba tanpa rasa canggung untuk meminta tolong ? Memang tidak ada hal yang disalahkan ketika hal tersebut dilakukan, tetapi kurang pas lah hehe. Alhasil, rencana awal kita atau ide kita yang kita ingin realisasikan jadi terbengkalai dan pada ujungnya bisa gagal. Sedih bukan ?. Rencana lantas tinggal rencana belaka.

Lalu kita harus seperti apa? Apa yang kita ambil dari hal tersebut ?. Jangan terlalu mengandalkan orang lain. Ada waktu untuk kita menciptakan kesempatan untuk mempertebal skill kita. Semua hal dapat kita pelajari. Semua tergantung pada niat dan kemauan yang keras. Menutupi kekurangan- kekurangan kita dengan mempelajari hal-hal baru. Kesempatan memang tidak mudah didapatkan. Jika memang tekad kita kuat, apapun bisa terjadi termasuk untuk belajar dan membuka kesempatan untuk mendalaminya. Kecuali memang dikerjakan setengah setengah dan memiliki mental mudah menyerah, ya itu sah-sah saja. Menurut saya sesuatu yang dikerjakan dengan setengah hati dan bukan totalitas lebih baik tidak perlu dilanjutkan. Saya meyakini jika hasilnya pun tidak akan maksimal.

Terkadang rasa menyerah dan putus asa itu ada, toh kita juga manusia biasa. Mudah terpancing hal-hal yang menggiurkan tetapi begitu dangkal ketika disudutkan pada masalah-masalah yang pelik. Sudahlah, hapus air matamu mulailah semangat barumu lagi. Pelajari segala hal selagi mampu dan ada kesempatan. Tak mudah memang, pasti ada keraguan dan ketakutan ketika mencoba hal-hal baru. Itulah proses. Tak ada alasan untuk menahan diri melakukan hal hal positif yang bisa mengasah kemampuan kita. Membuang jauh-jauh hal yang menghambat prosesnya.

Kita memang bukan ciptaan-Nya yang sangat sempurna, yang serba mampu ini itu. Tetapi itu semua sebagai dongkrak untuk memacu langkah kita. Kesempatan yang baik untuk menetaskan kemampuan baru yang sebelumnya tidak kita miliki bahkan untuk kita pikirkan sekalipun. Makan nasi iya, minum air tidak perlu ditanya. Kita semua sama, kita semua mampu. Bukan tentang over percaya diri, tetapi inilah pernyataan bahwa semua bisa diperoleh dengan semangat dan kerja keras. Lebih mengerti, lebih memahami dan tentunya lebih baik dari sebelumnya. Sadari kemampuan diri. Mengatur ambisi agar kita tidak melaju seperti dikejar tuntutan hidup. Jangan mudah takjub, jangan mudah berbangga diri dan mulailah dengan statement bahwa kita bukan siapa-siapa. Mulailah dengan tenang, memahami sekitar,bertanya jika memang tidak mengerti dan tidak keras kepala. Nikmati prosesnya maka dengan cara demikian, kita bisa menjadi apa yang kita inginkan (tentunya kemapuan diri yang positif).

Urip iku urup; hidup itu menyala. Ketika hidup kita sudah berguna untuk orang lain disekitar kita. Itulah hidup yang hakiki. Menyala dimulai dengan percikan-percikan kecil. Ya percikan kebaikan kecil yang dipupuk hari demi hari untuk menjadi lebih bermanfaat bagi sesama. Selamat memperjuangkan kesempatan dan kemampuan diri. Salam.

Terimakasih ☺

20160307

Bahagia | Separuh Dari Mindset

Pagi sedang cerah, indah. Semoga hingga redup sore nanti, nikmat Tuhan ini tetap terjaga. Memacu kita untuk lebih bersemangat. Ah tetapi memang sedikit klise ya ketika kita menyinggung perihal weekend dan setelahnya balik lagi ke Senin. Bukan apa-apa sih, tetapi pasti bakal meng-iya-kan ketika saya bilang : “ If Monday never come ”, haha. Ya, memang kebanyakan orang pasti sedikit malas untuk memulai aktivitasnya dihari Senin. Balik lagi ke masalah-masalah yang agak serius atau bahkan sangat serius nantinya. Pekerjaan yang belum kelar-kelar, tugas-tugas menumpuk dan rutinitas-rutinitas melelahkan yang mulai on lagi. Deadline, deadline dan deadline lagi. Belum lagi, misalkan kita bertemu gebetan yang sudah di-embat sama teman sendiri *dudududu (kalau yang ini bercanda loh). Begitulah adanya, mau tidak mau kita harus tetap beraktivitas terus untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan hidup kita. Begitu terus, berulang-ulang hingga kita tua kelak dan sudah, kembali pada Maha Kuasa. Kok saya merasa kurang nyaman ya, ketika ingin bercerita tetapi terbentur dengan bahasa yang baku. Apa lebih nyaman kalau menggunakan bahasa yang lebih luwes ya ?. Bukan penulis ini iyakan ?. Tetapi memang saya masih mempunyai sisi nasionalisme yang lumayan lah, hehe. Itulah mengapa saya menggunakan Bahasa Indonesia sebisa yang saya ketahui. Meskipun jauh dari EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) layaknya penulis sesungguhnya.


Meraba hal-hal yang membahagiakan itu, saya ingin berbagi cerita semasa sekolah dulu. Jelek-jelek seperti ini saya juga pernah makan bangku sekolah (bukan arti sesungguhnya *damn). Ya waktu itu saya dan beberapa teman yang saya sebutkan diatas tadi, menempati beberapa kamar kos. Kosnya sih tidak terlalu luas, malahan bisa dibilang minimalis. Tetapi sudah ada televishit, kipas angin, magicjar, kompor (alat-alat masak) dan dispenser (barang-barang itu ada secara bertahap). Kamar mandi untuk mandi dan mencuci pakaian, pup kan sudah pasti jadi tidak perlu disebutkan, hehe. Dan tentunya sumber air yang memadai dan mengalir lancar. Kebayangkan ribetnya kalau pagi-pagi harus cek-cok masalah air, karena saluran kran air mati atau tersumbat. Acara mandi jadi berantakan. Padahal beberapa menit kemudian harus masuk sekolah. Pernah juga sih hal seperti ini terjadi.

Dilain hari, ketika salah satu teman saya datang ke kos. Dengan alis kiri sedikit naik pertanda ketidakyakinan, dia menanyakan sebuah pertanyaan kepedulian diselimuti kekonyolan menurut saya, kurang lebih seperti ini;

“ Yakin tempat (kos) ini bisa bikin kamu betah ??? ”, singkatnya.

Saya hanya senyum sambil meneguk softdrink yang baru saja keluar dari salah satu Al*amart didekat kos yang sempat kita beli sebelum balik ke kos. Oh iya sekedar informasi, teman yang satu ini bukan teman satu kos. Ini teman main, teman nongkrong dari luar kos namanya 'A' tanpa pembahasan lebih, kalau saya publis nama aslinya nanti dia baper lagi, (taikk) haha. Merasa pertanyaannya tidak mendapat respon, dia kembali lagi berucap, yang kedua ini kalimatnya agak freak sih menurut saya;

“ Woy, jawab cuk!! ”, lantangnya.

Saya melihat alis kirinya sudah mulai turun menempati posisi semula, setelah itu baru saya jawab seperti biasa,

“ Saya menyukai tempat ini, saya menikmati keadaan disini ! ”, jawab saya mantap. Hampir mirip seperti anak kecil yang menang saat bermain kelereng dengan temannya, perasaan menggebu saya waktu itu.

“ Loh kamu kan belum mengerti keadaan disini, belum tau tempat ini ”, jawabnya penuh keheranan.

“ Lalu apa hubungannya ? ”, saya membalikkan pertanyaan padanya.

Dia pun tidak segera mematahkan pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut saya. Mungkin ini mengisyaratkan saya agar saya memberikan pemahaman luas mengapa saya menjawab seperti itu. Tanpa berniat mendahului argumennya, saya segera menyambungnya dengan beberapa kalimat penuh;

“ Nyaman atau tidaknya hati seseorang pada sesuatu hal. Itu adalah tergantung pada niat kita yang mendasarinya. Kebahagiaan adalah sesuatu hal yang memang kita pikirkan dan putuskan sedari awal. Apakah saya akan betah atau tidak ditempat ini, adalah tidak tergantung dari kondisi tempat ini, suasana tempat ini ataupun seberapa mahal harga sewa perbulannya. Semua itu berawal dari cara kita mengatur mindset kita sendiri. Sejak awal saya memang telah memutuskan untuk menyamankan hati dengan tempat ini. Pemikiran sederhana seperti ini jugalah yang selalu saya pakai setiap pagi dikala membuka mata setelah tidur hanya beberapa jam menjelang fajar. Untuk bersahabat dan mensyukuri apapun nikmat Tuhan yang diberikan kepada saya hari ini ”, panjang saya berucap. Dia pun belum mau mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan konyolnya.

Melihat mulutnya yang masih terkatup rapi. Saya segera menghela nafas sedikit panjang dan kembali menyambung kalimat saya yang tadi;

“ Saya selalu mempunyai sebuah pilihan yang saya ambil dan tidak untuk saya sesali, saya mungkin bisa saja menghabiskan waktu saya dirumah hanya untuk menyesali kesulitan-kesulitan yang terjadi dikehidupan saya karena ada beberapa part dalam kehidupan saya yang tidak seperti anak-anak lain pada umumnya. Atau saya bisa keluar dari comfort zone saya dan berterima kasih atas bagian-bagian kecil kebahagiaan sederhana yang Tuhan titipkan kepada saya, seperti masih bisa ngopi, masih mampu menulis, masih bisa berbagi cerita dengan teman-teman dan hal-hal lain yang sungguh indah ketika semua itu kita nikmati. Setiap sepersekian detik adalah nikmat Tuhan, meskipun saya tidak seberuntung teman-teman saya, tetapi saya memusatkan diri ini pada hari yang baru, dan pada semua kenangan indah nan membahagiakan yang pernah saya lakukan. Menyimpannya dalam benak dan hati saya sebagai tabungan. “ You only live once ”, kalimat yang merangkap judul salah satu lagu The Strokes memang pas untuk menggambarkannya. Kelak ketika umur saya telah senja, saya akan menikmati dari apa yang telah saya tabung selama ini ”, saya menutup rangkaian ungkapan panjang ini dengan tegukan terakhir dikaleng softdrink saya.

Saya mengamati entah berapa batang rokok yang dia bakar selama saya menjelaskan pemikiran sederhana saya padanya tadi, itu mungkin karena dia kesal karena tidak ada teman yang menemaninya menghisap lintingan tembakau itu. Saya memang memutuskan untuk tidak merokok, bukan karena apa-apa kok tetapi karena saya memang tidak kuat untuk membeli sebungkus rokok tersebut, haha☺. Terlihat berserakan, beberapa puntung rokok yang dia bawa tadi telah terbakar menyisakan ujung filternya. Karena memang waktu itu sudah larut dia pun berpamit pulang, tanpa kalimat panjang dia berbisik pelan tetapi saya yakin ini agak menusuk untuk saya;

“ Pikiranmu Asu* e cuk! ”, *(dibaca; gila!), bisiknya picik ditelinga saya. Haha ya memang kami muslim yang tidak taat. Lebih kepada tidak ingin merasa alim atau sok suci☺.

Menurut saya, ciptakan sendiri dan tabunglah sebanyak-banyaknya kebaikan dari kebahagiaan dihidup kita dibank kenangan kita, dan berterimakasihlah kepada orang tua,teman, sahabat, pacar, mantan atau bahkan musuh kita sekalipun dan orang-orang terbaik dihidup kita. Yang mana mereka telah membantu mengisi bank kenangan kita.

Mulailah menerapkan beberapa point sederhana dikehidupan kita, agar hidup ini tidak terasa hampa dan tentunya kalian akan merasakan manfaat lebihnya dikemudian hari. Beberapa diantaranya adalah :

• Bebaskan hati kita dari rasa benci, dendam dan amarah yang meletup-letup, let it flow sajalah,
• Maafkan ketidaknyamanan yang orang lain berikan, maafkan, dan maafkan saja. Meskipun benar adanya jika luka mungkin bisa dimaafkan tetapi tidak untuk dilupakan,
• Lepaskan pikiran kita dari segala kekhawatiran dan persepsi-persepsi negatif yang akan kita hadapi, sapalah kemungkinan-kemungkinan dengan berani,
• Hiduplah secara nyaman, ingat hidup tidak boleh sederhana tetapi gaya hidup yang harus sederhana,
• Perbanyaklah berbagi (share and give more) pada sekitar, tidak melulu harus dengan materi atau uang, bisa dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang telah kita capai,
• Jangan terlalu banyak berharap (expect less) apapun dan pada siapapun dimanapun itu.


Mulailah berpikir luas untuk kehidupan ini, banyak ruang luas tentang bahagia. Jangan terpaku pada noktah tertentu. Tetapi tetap berfokus pada kemampuan didalam diri kita yang telah kita miliki, nikmati anugerah Tuhan dan make things happen, see u.

Thanks ☺

*catatan : beberapa percakapan diatas sebenarnya menggunakan Bahasa Jawa yang tidak baik versi saya dan teman saya, tetapi akan lebih nyaman dibaca dan didengar jika saya menuliskan dan menggubah dialog tersebut dengan Bahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami, seperti diatas.

20160303

Menerima Itu Sempurna | Tentang Intensitas Kehidupan

"...gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang...".

Iya benar sekali, akhiran lirik dari lagu Sebelah Mata yang dinyanyikan Efek Rumah Kaca menutup playlist music player sore ini. Memang kerap kali telinga ini dijejali alunan-alunan lagu yang diperdengarkan musisi/band indie (non-major label) negeri ini. Mengapa demikian, entahlah saya juga kurang mengerti. Mungkin sebelah telinga saya muak dengan kemunafikan acara musik tv dipagi hari, atau bahkan keduanya dipaksa tidak menyukainya sama sekali. Ya, beberapa tahun belakangan ini saya memang sama sekali tidak menyentuh tell-lie-vision (dibaca; kebohongan yang dipertontonkan dan diperdengarkan). Dan Alhamdulillah saya sehat tidak terjadi apa-apa dengan otak saya. Sudahlah itu tidak penting karena saya memang tidak ingin berpanjang-lebar dengan hal itu. Hehe ☺

Mungkin sebagian dari kita pernah mengalami hal yang membuat kita berkecil hati, terasa kehampaan itu datang pada hidup kita. Mulai dari keresahan kecil, kegelisahan menengah hingga konflik yang memusingkan pikiran kita. Kegundahan-kegundahan itu tentu tidak datang tanpa hikmah, yang pasti itu semua pernah kita alami. Terutama untuk diri saya pribadi sebagai manusia biasa, yang tak lepas dari jeratan masalah tersebut. Itu pertanda bahwa kita masih bernafas, masih hidup.

Datang ke konser penyanyi idola, sing a long bersama teman-teman yang lain. Berjingkrak bergoyang seirama sampai lupa akan bau keringat sendiri sangat tidak sedap begitupun dengan teman dekat kita. Lalu setelah usai, pulang kerumah sendiri dan merasakan lagi ketidakberartian diri. Itu hampa.

Hang-out bersama teman, jalan-jalan menelanjangi setiap stand pakaian dimall. Hunting sesuatu yang dianggap baru agar tidak ketinggalan jaman. Sepulangnya kita merasa semua itu tidak melegakan rasa haus kita akan kebaruan. Hampa.

Update status dimedia sosial, berkata-kata bijak bak seorang motivator atau cenderung menggurui layaknya dosen. Tidak lain tidak bukan adalah hasil salinan pemikiran orang lain. Atau menghujat ini itu, sindir sana sindir sini tanpa dasar yang jelas. Pada akhirnya merasa bahwa diri kita memang tidak berarti apa-apa. Hampa.

Bercanda, menertawakan hal-hal konyol dengan sahabat terdekat. Pergi karaoke'an, menyanyikan lagu bermacam genre dan melampiaskan segala penat, namun diujung waktu nyatanya tak berguna. Hampa.

Banyak tawa, banyak kasih sayang dari orang-orang disekitar kita. Namun hati kecil tetap merasakan kesendirian ditengah keramaian itu. Tertawa dengan semua senyum palsu. Masih bertanya-tanya akan apa itu arti bahagia. Hampa.

Hingga pada waktu tertentu, kita melihat teman yang mengalami kesusahan. Kita mencoba membantu dengan segala kemampuan yang kita miliki. Tanpa pamrih apapun. Dia berucap terimakasih yang tidak berujung, kita membalas dengan ikhlas hati dan senyuman. Kita merasa diri ini berguna. Kita bahagia. Kita ada.

Mendengarkan cerita sahabat yang baru saja putus, ataupun mengalami kerenggangan dihubungannya. Ada pula yang mengadu bahwa dia sedang terbelit konflik dikehidupannya sosialnya. Dengan terbuka kita merangkulnya memberikan semangat dan memotivasi positif untuk kedepannya. Dia merasa kita sahabat yang care dengannya. Terbangun kembali goodmood'nya. Kita berguna. Kita ada.

Bertukar informasi lowongan pekerjaan, atau sekedar tempat nongkrong yang asik. Bercerita tentang musisi idola, tentang lirik-lirik jenius yang membius pola pikir, menyambungkan suasana. Membagi ilmu serta keahlian yang kita miliki kepada teman-teman diwaktu luang, mereka merespon positif dan muncul ide-ide usaha baru. Kita berguna. Kita ada.

Mengkaryakan segala kemampuan seni dasar yang kita punya agar bermanfaat untuk kehidupan. Meskipun tidak sekompleks karya seniman idola. Kita berguna. Kita ada.

Mengejar segala ketidakpastian. Semua perihal kesendirian dan kebutuhan yang melaju searah membuat hidup kita terasa tidak ada isinya. Adalah benar bahwa hati dan rasa puas itu ibarat sebuah lubang hitam dalam yang tidak akan pernah penuh. Selalu kurang dan kurang. Tanpa kita sadari kita tersedot habis kedalam ruang keinginan yang tak berujung.

Hantam segala bentuk ketidakpastian diri kita. Injak dan tutup semua lubang itu dengan berbagi kepada orang lain. Semua itu akan memudarkan sisi keinginan individualisme kita. Sekecil apapun kebahagiaan kita secuil apapun isak tangis kita, berbagilah kepada sahabat dan orang-orang terbaik dihidup kita. Kesendirian bukan alasan seseorang untuk menjadi sesuatu. Tetapi biarkan dan ikhlaskan orang lain untuk mengisi kesendirian kita, biarkan mereka menyapa kekosongan kita. Begitupun kita sebaliknya pada mereka, saling mengisi saling memahami dan saling berbagi. Berbagi bahagia selayaknya bahagianya bisa berbagi. Dengan itu kita akan terisi. Meskipun tidak penuh, meskipun masih ada ruang-ruang hening tetapi setidaknya tidak akan lagi hampa.

Begitulah adanya proses makan dan dimakan waktu. Selagi kita bisa menerima segala bentuk terpaan dan hujan masalah. Payung baja pelapis hati yang akan meneduhkan jalan kita kedepannya. Bahagia dengan jalan yang kita pilih, tanpa mengusik senyum manis orang lain dan tanpa menyesali keputusan-keputusan yang kita ambil. Biarkan nyaman meronta dan menyeruak, keheningan ruang nyaman yang membunuh pola pikir yang membunuh segala bentuk harapan, cita-cita kita.

Kebahagiaan hidup bukan semata-mata datang dengan sendirinya. Salah satu kunci hidup bahagia adalah dengan menerima semua realita kehidupan disekitar kita yang semuanya hanya sementara. Belajar ikhlas, sabar, dan tawakal menerima apapun itu, menjadikan kita kuat menghadapi hidup yang satir ini. Menerima menjadikan kita bahagia dan kebahagiaan itu menjadikan hidup kita sempurna. Menerima Itu Sempurna.

Terimakasih, salam sederhana sesederhana kebahagiaan saya, menerima itu sempurna ☺.